Proses penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia tidak
bisa dilepaskan dari peran para ulama
awal yang aktif menyebarkan dan mengembangkan
Islam di kawasan Nusantara. Mereka telah memainkan peranan penting dalam sejarah Islam di Indonesia. Mereka itu antara
lain Nurudin al-Raniri, Hamzah
Fansuri, Abdul Samad Al-Palimbani dan Abdul
Rauf Singkel. Berikut ini penjelasan singkat mengenai kehidupan mereka :
1.
Syekh Nurudin al-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nurudin Muhammad bin Ali bin Hasan Al-Hamid al-Quraysi al-Raniri.
Dilahirkan di Ranir atau Randir sebuah pelabuhan
tua di pantai Gujarat. Tidak ada informasi yang pasti mengenai tanggal dan tahun kelahirannya, karena ia
tidak banyak berbicara mengenai dirinya baik dalam karya-karyanya
maupun kepada murid-muridnya, tapi diperkirakan
pada akhir abad ke-16. lbunya seorang Melayu, sedangkan ayahnya seorang imigran Hadramaut, Yaman yang sering berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Nenek
moyangnya kemungkinan termasuk dalama
keluarga al-Hamid dari zuhra, salah satu dari sepuluh keluarga Quraisy. Di antara anggota keluarga Zuhara yang terkemuka adalah seorang sahabat Nabi yakni Abdul
Rahman bin Auf Tetapi mungkin juga,
nenek moyang al-Raniri adalah Zubair al-Asadi al-Humaydi, yang dikenal sebagai seorang ulama asli Mekkah yang terkemuka.
A1-Humaydi adalah salah seorang murid
al-Syafii.
Al- Raniri
belajar agama di Ranir, kemudian melanjutkan pendidikannya ke
Hadramaut juga kc Haramain (Mekkah & Madinah). Guru al-Raniri yang paling terkenal adalah Abu Hafs Umar bin
Abdullah Basysaiban al-Tarimi
al-Hadrami, yang juga dikenal di wilayah Gujarat dengan sebutan Sayyid Umar al-Aydrus. Aceh sejak dulu dikenal banyak menerima ulama yang datang baik dari Persia maupun India. Mengikuti jejak
pamannya, Syeikh Muhamad Jailani bin
Hasan al-Raniri yang berkunjung ke Aceh Iima puluh tahun sebelumnya, al-Raniri datang ke Aceh pada tanggal 6 Muharram 1047 H/31 Mei 1637 M pada masa Sultan Iskandar
Muda. Kedatangannya ke Aceh tidak
disambut hangat baik oleh penguasa maupun masyarakat karena perbedaan madzhab. Apalagi, Syamsudin al—Sumatrani seorang tokoh tasawuf falsafi diangkat menjadi
penasihat kerajaan.
Namun ketika
Sultan Iskandar II naik tahta menggantikan Iskandar Muda pada tahun 1637 M, Al-Raniri
langsung diangkat sebagai Syekh Islam atau mufti, salah satu kedudukan tinggi
di kesultanan Aceh. Tugas al-Raniri adalah bertanggungjawab atas
masalah-masalah keagamaan. Al-Raniri juga melakukan pembaruan
ajaran Islam di Aceh. Menurut pendapatnya,
muslim di Aceh sudah dikacaukan dengan kesalahpahaman atas doktrin sufi. Ia menentang
doktrin wujudiah yang diajarkan Hamzah Fansuri
dan Syamsudin al-Surnatrani. Bahkan ia menfatwakan hukuman ati bagi mereka yang mengikuti faham sufi
wujudiyah.
Al-Raniri
kembali ke tanah kelahirannya pada tahun 1644 M. Beliau melewati sisa-sisa hidupnya selama 14 tahun di Ranir. Tujuh tahun di Aceh, ia telah menghasilkan 29
karya. Al-Raniri meninggal pada hari
Sabtu 21 September 1658 M/22 Dzulhijja 1068 H.
Karya-karya al-Raniri
Al-Raniri
adalah seorang ulama yang produktif, berpengetahuan Iuas dalam berbagai bidang ilmu agama. Katya-karyanya membincankan masalah-masalah dibidang fiqih, aqidah,
tasawuf dan hadits. Karya—karyanya banyak yang menentang pemikiran atau
pendapat-pendapat Hamzah Fansuri dan
Syamsudin al-Sumatrani. Sekitar 30 judul buku telah beliau hasilkan yang sudah ditemukan hingga hari ini, antara Iain:
1. Al-Shirath al-Mustaqim, dalam bahasa Indonesia
dengan tema pembahasan bidang fiqih
meliputi shalat, puasa, zakat, haji dan qurban
seita hukum-hukumnya.
2. Durrah al-Fara’idh fi syarh al-Aqaid, dalam bahasa
Indonesia dengan topik pembahasan
analisis kritik terhadap Syarh al-Aqaid al-Nsqfiyyah, karya Imam
Sa'duddin al-Taftazani
3. Hidayah al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib fi al-Hadits, dalam bahasa Arab dan Indonesia memuat 381
hadits
4. Bustan al-Salathinfi Dzikr al-Awwalin dan al-Akhirin,
mempakan karya terbesar dalam sejarah
wilayah Aceh, dengan topik pembahasan
meliputi sejarah nabi-nabi, raja-raja, menteri-menteri dan wali-wali. Pada bagian penutup sejarah negeri-negeri Melayu, sedangkan Bab terakhir membicarakan akal,
filsafat dan sifat-sifat perempuan.
5. Nubdzah di Da’wah al-Dzill, dengan topik
pembahasan tasawuf dan merupakan
penegasan aliran pemikirannya yang menilai konsep panteisme sesat. Buku ini diuraikan dengan tanya jawab.
6. Lathaifal-Asran mengenai tawsawuf
7. Asras al-lnsanfia Marifah al-Ruh al-Bayan, dalam
bahasa Indonesia membahas manusia
dalam hubungannya dengan Allaj SWT begitu juga dengan masalah ruh dan hakikatnya.
8. Al-Tubyanfi Marifah al-Adyanfi al-Tasawuff, Menguraikan secara lengkap perdebatan melawan pengikut
Fansuri yang menjadi penyebab
dikeluarknya fatwa “hukum mati’ kepada mereka.
9. Akhbar al-akhirahfi Ahwal al-Qiyamah, dengan topik pembahasan al-Nur al-Muhammadi,
penciptaah Adam, siksaan hari kiamat, surga dan
neraka.
10. Hill
al-Dzill, membahas komentar terhadap karyanya sendiri, Nubdzah di Da 'wah al-Dzill ma ’a
shahibih dalam bidang tasawuf
11 . Ma al-Hayah li Ahl al—Mayyit, dalam bisang
tasawuf dan penolakan terhadap
panteisme.
12. Jawahir al— Ulumfi Kasyfal-Ma ’lum, dalam bahasa
Indonesia tentang tasawuf, ilmu
makrifat, ilmu hakikat, wujud dan sifat-sifat Allah.
13. Aina
al-Alam Qabla an Yukhlaq, dalam bahasa Indonesia dengan tema pembahasan tasawuf dan penolakan
terhadap panteisnie.
14. Syifa al-Qulub ’an al-Tasawuf, pembahasan makna
dua kalimat syahadat dan tata cara
dzikir.
15. Hujjah al-Shidiq fi daf’i al-Zindiq, dalam bahasa Indonesia membahas ilmu kalam, aliran-aliran kalam,
aliran filsafat Islam, kaum sufi dengan
tofik perhatian kesesatan pada panteisme.
16. Al-Fath al-Mubin ’ala al-Mulhidin, dengan topik akidah dan tasawuf yang menekankan kesesatan doktrin
panteisme, perlunya memerangi para
pengikutnya dan membakar buku-bukunya.
17. Al-Lam’an fi Takfir man qala bi
khalq al-Qur’an, dalam bahasa
Arab membahas surat Sultan Banten Abdul Mafakbir Abdul Qadir AIi. dalam bahasa Arab dengan tema penolakan terhadap aliran Hamzah Fansuri
18. Shawarim
al-Shidiq fi al-Qat’i al-Zindiq, dalam bahasa Arab membahas penolakan terhadap aliran Fansuri
19. Rahiq
al-Muhamadiyah fi Thariq al-Shufiyah, dalam bahasa Arab tentang tasawuf
20. Bad’u
khalq al—samawat wa al-ardh, dalam bahasa Arab tentang tasawuf
21. Hidayah
al-Imam bi Fadhl al-Manan, dalam bahasa Indonesia tentang makna Islam, iman, makrifat, dan
tauhid.
22. Ilaqah
Allah bi al-Alam, terjemhan ke dalam bahasa Indonesia tentang tasawuf
23. Aqaid
al-Shufiyah
al-Muwahiddin, dalam bahasa Arab berisi tentang pengalaman-pengalaman
kaum sufi pada saat menyebut la ilah illallah.
24. Kayfiyah
al-Shalah, dalam bahasa Indonesia tentang tata cara shalat
25. Al-fath
al- Wadud fi bayan wahdah al-wujud, dalam bahasa Arab
26. Ya Jawwad
Jud, dalam bahasa Arab tentang panteisme
27. Audhah
al-Sabil laysa li Abathil al—Mulhidin Ta’wil, dalam bahasa Arab
28. Audhah
al-Sabil laysa li al-Kalam al-Mulhidin Ta ’wil, dalam bahasa Arab
29. Syadzarat
al-Murid, dalam bahasaArab
30. Umdah
al-I’tiqad, dalam
bahasa Arab
Semua karya di atas merupakan bukti bahwa al-Raniri memiliki
misi menyelamatkan akidah
masyarakat muslim dari pemahaman filsafat tasawuf yang bisa menyesatakan.
2. Abdul Samad al-Palimbani
Al-Palimbani merupakan keturunan Arab Yaman, ayahnya bernama Syekh Abdul Jalil bin Syekh
Abdul Wahab al-Mahdani. Hijrah ke Palembang
di akhir abad ke-17 M. Menjadi mufti di wilayah Kedah (sekarang salah satu propinsi di Malaysia). Setelah kembali ke
Palembang kemudian menikah dan
dianugerahi anak yang di beri nama Abdul Samad pada tahun antara 1700-1704 M. Abdul Samad menerima pelajaran agama kali pertama di Palembang kemudian
melanjutkan ke Mekkah dan Madinah.
Abdul Samad menghabiskan masa mudanya di Mekkah dan Madinah untuk belajar dan menulis.
Guru-gurunya adalah para syekh besar seperti
Syekh Muhamad al-Saman al-Madani, pendiri tarekat Samaniyah al-Khalwatiyah. Ia memperoleh ijazah dari
Syekh Saman untuk mengajar dan
mengenalkan tarekat Samaniyah di Palembang. Atas petunjuk gurunya, ia belajar kepada Syekh Abdul
Rahman bin Abdul Aziz al-Maghribi yang mengaj arkan beberapa buku filsafat dan
tasawuf.
Selama berada di Mekkah dan Madinah, Abdul Samad banyak menulis beberapa buku baik dalam bahasa
Arab maupun Indonesia untuk memenuhi
permintaan masyarakat di Palembang. Komunikasi dan hubungannya dengan tanah kelahirannya tidak pernah terputus bahkan
ia menyarankan agar masyarakat Palembang khususnya dan bangsa Indonesia umumnya untuk melawan penjajah
Belanda.
Pada masa tuanya ia kembali ke Palembang mengajarkan tarekat Samaniyah
dan memiliki banyak pengikut. Setelah berdakwah di Palembang ia pergi ke Kedah dan wafat di sana
tempat keluarganya tinggal.
Karya-Karya Abdul Samad al-Palimbani
Riwayat hidup Abdul Samad memang sangat sedikit yang bisa
dicatat oleh para sejarawan. Namun
karya-karyanya bisa menjadi bukti bahwa beliau
memiliki pengaruh yang besar
di kalangan masyarakat di Nusantara.
Berikut ini karya tulis Abdul Samad al-Palimbani :
1. Zuhrah al-Muridfi Bayan Kalimah Tauhid, dalam
bahasa Indonesia ditulis pada tahun 1764
M.
2. Nasihah al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu’minin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah wa karamah al-Mujahidin fi sabilillah, dalam bahasa Arab ditulis pada tahun 1772
M.
3. Tuhfah al-Ragibin fi Bayan Haqiqah Imam al-Mu’minin wa
ma ufiiduhi fi Riddah
al-Murtadin, dalam bahasa Indonesia ditulis tahun 1774 M untuk memenuhi permintaan Sultan Palembang dalam rangka membendung pengaruh tasawuf Harnzah
Fansuri.
4. Al-Urwah al-Wustqa wa Silsilah Uli Tuqa, dalam
bahasa Arab dan memuat kumpulan doa,
Wirid, dan bacaan dzikir untuk Waktu-waktu tertentu
5. Hidayah al-Salikin fi Suluk Maslak al-Mutaqin,
dalam bahasa. Indonesia dan rampung
ditulis pada 1 787 M.
6. Ratib Abdul Samad, dalam bahasa Arab yang
mengandung zikir, doa-doa dan
shalawat atas Rasulullah SAW.
7. Sayr al-Salikin ila Rabb al-Alamin, dalam bahasa
Indonesia ditulis pada 1779 M.
8. Zad al-Mutaqin fi Tauhid Rabb al-Alamin, buku ini ringkasan pendapat guru Syekh Samman.
3. Abdul Rauf Singkel
Abdul Rauf Singkel dilahirkan di Singkel, sebelah utara Fansur
di pantai barat Aceh. Tidak banyak
yang bisa diketahui dari masa kecilnya. Ia memperoleh
pengetahuan agama dari ayahnya yang seorang ulama. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Banda Aceh kemudian ke Timur Tengah. Ia menghabiskan waktu selama
19 tahun untuk menuntut ilmu di
beberapa tempat dan kepada beberapa guru.
Dalam perjalanannya ke Timur Tengah, Singkel menuntut ilmu di Doha, Qatar, tempat ia belajar kepada Abdul Qadir al-Mawrir.
Kemudian ia pergi Yaman di sana ia
belajar di Baitul Faqih, Zabid, Mawza, Mokha, al-Luhayah, Hudaydah dan Taizz.
Tidak diketahui pasti berapa lama ia belajar
di Yaman dan kapan ia meninggalkan negeri itu. Yang pasti, setelah dari Yaman ia pergi ke Jeddah dan belajar kepada Syekh Abdul
Qadir al-Barkhali. Kemudian belajar di Masjidil Haram. Setelah belajar di
Masjidil Haram, Singkel beralih
Madinah. Kota suci ini menjadi tujuan terakhirnya, ia pun merasa puas
dengan apa yang telah dilakukannya. Di Madinah ia berguru kepada Ahmad al-Qusasi dan Ibrahim al-Qurani.
Setelah puas belajar di berbagai tempat, Singkel kembali ke
Aceh. Ia meninggalkan Madinah menuju
Aceh setelah kedua gurunya di Madinah meninggal dunia ia sampai di Aceh
pada tahun 1661 M/1584 H. Pada tahun tersebut Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin.
Di Aceh ia diangkat Sultan sebagai Qadi al-Malik al-Adil
atau mufli yang berkewajiban atas
urusan agama dalam kesultanan Aceh.
Selain itu, ia aktif mengajar dan
menulis. Singkel telah menulis sekitar 22 karya yang membahas fiqih,
tafsir, kalam dan tasawuf. Tulisannya lebih banyak berbahasa Arab daripada berbahasa Melayu, karena ia lebih fasih berbahasa Arab.
Singkel meninggal sekitar tahun 1105 H/ 1693 M. Dimakamkan dekat kuala atau mulut sungai Aceh, tempat
itu juga menjadi makam istri dan
muridnya. Karena dimakamkan di kuala, Singkel kemudian dikenal dengan Syekh kuala. Makamnya menjadi
tempat ziarah keagamaan yang dikunjungi
orang hingga hari ini.
Karya-Karya Abdul Rauf Singkel
1. Umdah al-Mukhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, buku ini memberi informasi mengenai tempat-tempat yang
didatanginya ketika menuntut ilmu,
begitu juga mengenai guru-gurunya dan ulama lain yang ditemuinya.
2. Lubb
al—Kasr wa al-Bayan li ma Yarahu al-Muhtadar bi al- Ayyan, tulisan mengenai
kaum sufi dan pandangannya mengenai sikap Nurudin al-Raniri terhadap kaum sufi. Karya
ini ia konsultasikan lebih dulu
kepada gurunya Ibrahim al-Qurani.
3. Tasir
Tarjuman al-Mustafid, tafsir al-Qur'an 30 Juz dalam bahasa Melayu
4. Mir’ah Thullabfi Tashil Mar’rifah
al-Ahkam al-Syar’iyah
li al-Malik al- Wahhab,
tentang fiqih muamalah.
4. Muhammad Arsyad al-Banjari
Muhammad Arsyad al-Banjari lahir pada tahun 1710-1812 M di Martapura Kalimantan Selatan. Beliau
adalah ulama paling terkenal dari Kalimantan
Selatan yang merupakan tokoh penting dalam proses islamisasi di Kalimantan. Beliau memperoleh pendidikan dasar agama dari ayahnya dan dari guru-guru di
desanya. Pada saat berusia 7 tahun, Arsyad
sudah mampu membaca al-Qur'an dengan baik.
Ia melanjutkan pendidikannya ke Haramain (Mekkah &
Madinah). Bersama-sama murid dari
Indonesia seperti Abdul Samad al-Palimbami dan
beberapa penuntu ilmu dari Melayu Indonesia. Di Mekkah ia belajar selama 30 tahun, kemudian pindah ke
Madinah dan belajar di sana selama 5 tahun.
Setelah itu ia kembali ke Kalimantan pada tahun 1773 M.
Muhammad Arsyad
dikenal sebagai ulama yang menguasi ilmu fiqih, salah satu karyanya dalam bidang
fiqih ialah sabilal muhzadin. Dalam ilmu tasawuf ia juga menulis karyanya yang berjudul Kanz al-Ma'rifah. Seperti halnya ulama-ulama Nusantara yang lainnya, Arsyad juga sering berkomunikasi dengan guru-gurunya di
Haramain khususnya menanyakan hal-hal
seputar agama yang terjadi di Kalimantan. Seperti meminta pandangan gurunya Sulaiman al-Kurdi
mengenai kebijakan Sultan Banjar yang
mendenda kaum muslimin di Banjar yang tidak shalat Jum'at.
5. Syekh Nawawi al-Bantani
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Umar al-Nawawi al—Bantani al-Jawi lahir pada tahun
1813 M. Beliau dikenal sebagai ulama Nusantara
yang paling terkenal pada abad 19. Dari namanya bisa diketahui ia bcrasal dari Banten. Ayahnya adalah seorang penghulu di Tanara
Serang Banten. Ibunya bemama Khadijah
juga berasal dari Tanara. Masa kecil Nawawi
dihabiskan untuk belajar ilmu agama kepada ayahnya, juga kepada Haji
Sahal seorang ulama Banten dan Raden Haji Yusuf di Purwakarta Jawa Barat.
Pada usia 15 tahun, Nawawi berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan tinggal di
sana selama 3 tahun untuk belajar ilmu-ilmu
agama kepada syekh-syekh di Masjidil Haram, antara lain kepada Sayid Ahmad bin Sayid Abdurahman al-Nawawi, Sayid Ahmad Dimyati, Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Selain
di Mekkah ia juga belajar di Madinah
kepada Syekh Muhamad Khatib Sambas al-Hanbali juga kepada guru asal Mesir Yusuf Sumulaweni, Nahrawi dan Abdul Hamid
Dagastani.
Pada tahun 1883 Syekh Nawawi kembali ke Banten dan mengajarkan para pemuda di kampungnya ilmu-ilmu agama.
Tidak lama di Banten ia kembali ke Mekkah pada tahun 1855
melanjutkan belajar sampai menjadi guru
di Haramain hingga akhir hayatnya.
Syekh Nawawi merupakan ulama yang produktif, beliau sangat dihormati oleh ulama-ulama di Haramain.
Sehingga beliau memungkinkan untuk
mengajar di Masjidil Haram sejak tahun 1860. Padahal untuk mengajar di Masjidil Haram bukanlah
perkara yang mudah, sebab yang berhak
mengajar di sana adalah mereka yang punya kapasitas ilmu yang sangat tinggi.
Sebagai seorang syekh di Haramain, Nawawi memiliki banyak
murid yang belajar kepadanya. Antara
murid-murid Nawawi yang berasal dari Melayu
Indonesia adalah Syekh Hasyim Asy’ari, Syekh Khalil Bangkalan, Syekh Ilyas Serang dan Tubagus Muhamad
Asnawi Caringin. Selain mengajar ,
beliau juga aktif menulis. Salah satu karyannya yang diakui dunia Islam adalah tafsir al-munir atau tafsir marah labid. Syekh Nawawi Wafat pada tahun 1 897 M di Mekkah dan
dimakamkan di samping makam Sayyidah
Khadijah, istri Rasulullah SAW.
6. Ahmad Khatib Minangkabau
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang ulama Melayu Indonesia yang lahir di Bukittinggi pada
tahun 1855 M. Beliau adalah penggagas
pembaruan ajaran Islam di Minangkanbau. Beliau dilahirkan dari
keluarga yang taat beragama dan memegang kuat adat dan tradisi Minangkabau. Ayahnya adalah seorang jaksa
di Padang, dan ibunya adalah anak
dari Tuanku nan Renceh, seorang ulama terkemuka di Padang.
Pada tahun 1876 M beliau berangkat ke Mekkah untuk
melanjutkan pendidikan agamanya di
Masjidil Haram kepada para ulama besar di sana. Sampai ia mendapatkan kedudukan yang tinggi sebagai ulama dan dipercaya sebagai guru di Masjidil Haram.
Menurut cerita, beliau tidak kembali lagi ke Minangkabau. Akan tetapi beliau tetap
memantau perkembangan ajaran Islam di
tanah kelahirannya. Beliau mengajarkan orang-orang
Padang yang pergi haji dan menyarankan berbagai hal untuk kemajuan Islam di sana.
Beberapa murid Syekh Khatib antara lain Syekh Tahir
Jalaludin, Syekh Muhamad Jamil Jambek, Haji Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad. Berbeda dengan
ulama lainnya yang terjun ke
dunia tarekat atau tasawuf, Syekh
Khatib lebih menekankan kepada syariat saja. Bahkan ia membuat buku yang berjudul lzhar Zugal al-Kadzibin yang
isinya penolakan kepada tarekat salah
satu kumpulan tarekat. Syekh Khatib meninggal
di Mekkah pada tahun 1916 dalam usia 60 tahun.
Ini yg mau saya baca, buat persiapan ulangan semester, thanks mimin
BalasHapus